Selasa, 05 Desember 2017

Seberapa Efektif Iklan dalam Bentuk Video?

CaseOnVideoAds|Featured Image


Akan sedikit sulit untuk berbicara tentang 
content marketing tanpa membahas raksasa yang satu ini—video. Digadang-gadang sebagai masa depan dari content marketing, banyak perusahaan yang berupaya sebisa mungkin untuk memanfaatkan video. Hal ini dapat dimaklumi. Video online kini telah menjadi tolak ukur untuk membuat sebuah konten menjadi viral, bahkan sejak era video “Charlie Bit My Finger.”

Axonn Research menemukan bahwa tujuh dari sepuluh responden melihat citra para brand menjadi lebih positif setelah menyaksikan video menarik buatan mereka. Sementara sebuah laporan dari Forrester mengatakan bahwa video berdurasi satu menit memiliki dampak yang sama dengan artikel berisi 1,8 juta kata.
Walau begitu, masih banyak kekurangan dari video yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Suatu hari nanti video mungkin akan menjadi raja di dunia konten. Namun untuk sekarang video masih harus berjuang untuk meraih mahkota tersebut.

Video bersifat linear

Iklan berbentuk video masih dianggap mengganggu user experience. Alasan terbesarnya adalah karena pesan yang disampaikan video sangat linear. Ini membuat usaha untuk menarik perhatian pengguna menjadi lebih besar.
Masalah terjadi ketika audiens mengeklik tombol “Skip Ad” sebelum pesan dalam iklan berhasil disampaikan. Sebuah studi dari Visible Measures mengklaim bahwa dua puluh persen pengguna meninggalkan video dalam waktu sepuluh detik atau kurang. Ini menuntut para pengiklan untuk dapat menyampaikan pesan mereka dengan lebih singkat.
Platform video seperti Vimeo dan YouTube memiliki iklan yang tidak bisa dilewati. Kamu boleh berpendapat kalau hal ini jauh lebih mengganggu dibanding iklan dalam bentuk lain, karena video menyita waktu lebih banyak ketimbang banner ad. Sistem berlangganan tanpa iklan, seperti yang ditawarkan YouTube Red, mengambil keuntungan dari ketidaknyamanan ini. Begitu juga dengan ad blocker.

Video menyedot paket data

CaseOnVideoAds|Image 1
Sumber: HuffingtonPost
Menurut penelitian Deloittetraffic yang dihasilkan dari konten audio dan video akan mencapai 82 persen dari seluruh traffic internet pada 2018. Ini karena konten video sangat banyak menggunakan data. Pengguna pun semakin selektif ketika mengakses video saat tidak ada koneksi Wi-Fi.
Fenomena ini terjadi di negara-negara yang pasarnya sedang berkembang, seperti Indonesia atau Filipina, di mana jaringan internet belum merata dan harganya cenderung mahal. Sementara kualitas koneksi internet di pasar berkembang masih buruk, dan Wi-Fi gratis untuk masyarakat masih berupa wacana, penyebaran konten video masih akan terbentur isu geografis.
Batasan ini akan memengaruhi penggunaan video dalam penerapan inovasi marketing, seperti location-based advertising. Menurut sebuah studi dari IAB UK, 66 persen dari marketer percaya bahwa location-based advertising adalah peluang paling menarik di tahun 2016. Apabila konsumen masih sayang menggunakan paket data mereka untuk mengakses video, maka iklan video yang menyasar pengguna perangkat mobile akan kurang efektif.
Sebuah iklan video Starbucks, misalnya, secara teoritis akan lebih efektif bila “disebarkan” ke calon pelanggan yang berada dekat outlet. Namun ini tidak akan berlaku jika mereka tidak memiliki akses terhadap koneksi Wi-Fi yang memadai.

Video adalah “bahasa” yang sulit dipelajari

CaseOnVideoAds|Image 2
Sumber: YouTube
Para brand seringkali kesulitan “berbicara” dengan golongan anak muda yang ada di dalam demografis mereka. Ketika brand mencari tahu cara memikat audiens untuk membeli produk mereka lewat iklan video, netizen lebih memilih untuk menonton video kucing melawan zombi atau video lelucon.
Hal ini dapat dimaklumi, karena tidak ada yang tahu formula untuk membuat video menjadi viral. Salah melangkah sedikit saja, upayamu akan sia-sia. Seperti misalnya langkah HTC melakukan rap battle dengan kompetitornya pada 2015.
Tidak ada aturan baku untuk membuat sebuah video menjadi populer atau viral. Selain itu ada banyak sekali kompetitor di luar sana.
YouTube, leluhur dari situs video online, diperkirakan telah menerima hingga satu miliar unique visitor setiap bulannya. Menurut data tahun 2015 dari CEO YouTube Susan Wojcicki, ada lebih dari 400 jam video yang diunggah setiap menitnya. Ini berarti apabila kamu mengunggah video berdurasi lima menit, saat itu juga kamu bersaing dengan konten lain yang berdurasi 399 jam dan 55 menit.
Melihat ramainya persaingan yang ada, kamu harus membuat konten video yang lebih menarik untuk mendapatkan perhatian audiens.

Video tidak ramah mesin pencari

Video juga berjuang untuk mendapatkan visibilitas oleh mesin pencari. SEO dari video juga sangatlah terbatas apabila dibandingkan dengan artikel yang jauh lebih mudah dicerna Google. Bot tidak dapat menginterpretasikan video seperti bagaimana mereka mengerti tentang teks dan kode. Video yang tidak dilengkapi dengan caption atau keterangan berbentuk teks akan lebih sulit lagi untuk bersaing dengan konten tertulis.
Inilah keterbatasan konten video. Dengan kemampuan SEO yang minimal, pengguna akan cenderung mencari video dari kreator yang sudah mereka kenal. Ini membuat video-video baru semakin sulit untuk ditemukan. Brand juga akan semakin sulit untuk ditemukan, karena iklan berbentuk video ini tidak berdampak banyak pada visibilitas mereka di mesin pencari.

Apakah ada jalan tengahnya?

CaseOnVideoAds|Image 3
Sumber: Pexels
Video adalah medium yang cukup potensial bagi brand untuk menjangkau lebih banyak audiens, tetapi kamu harus bekerja ekstra keras untuk dapat berhasil dengan upaya tersebut. Jadi ketika kamu sedang mengerjakan content marketing untuk brand atau perusahaanmu, jangan langsung menghabiskan seluruh bujet untuk membuat video. Kamu dapat menjangkau lebih banyak audiens dengan strategi yang lebih beragam.
Bekerja dengan produser video juga dapat membantu agar pesan sampai ke audiens yang tepat. Influencer dan rumah produksi juga dapat membantumu dengan keahlian yang mereka miliki, sembari kamu mendapatkan akses ke penonton tetap mereka. Ketimbang membuat iklan, buatlah konten video native karena ini tidak akan mengganggu pengalaman pengguna. Kemungkinan video native untuk dibagikan oleh pengguna pun lebih tinggi.
Video mungkin tengah menjadi topik paling dibicarakan belakangan ini. Namun dengan semakin banyaknya video yang diproduksi oleh media dan brand, hal ini mirip seperti demam emas pada abad ke-19.
Apabila video terlalu dieksploitasi, medium ini akan hambar dengan lebih cepat. Sehingga akan lebih baik jika kamu fokus membuat video berkualitas, ketimbang mementingkan kuantitas. Hal terakhir yang kita butuhkan adalah situs berita yang membuat video dengan sisipan teks berdurasi satu menit.

Ingin tahu lebih banyak?

Jika kamu ingin tahu lebih banyak tentang content marketing, silakan isi formulir di bawah ini. Kami akan memberi tahu kamu apabila ada konten dan insight terbaru tentang content marketing. Jangan sungkan juga untuk beri tahu kami tentang apa yang ingin kamu pelajari pada kolom komentar di bawah!

Brand Pulse adalah cara Tech in Asia Indonesia untuk menyajikan konten bersponsor. Tim Brand Pulse kami bekerjasama dengan berbagai brand terkemuka untuk menciptakan konten yang mendidik, informatif, serta kredibel untuk audiens kami. Untuk mengetahui informasi lebih lanjut, silakan kunjungi halaman brandpulse.techinasia.com atau kirimkan pertanyaan kamu ke bdid@techinasia.com.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh Annie Teh. Informasi dalam artikel telah diterjemahkan dan dimodifikasi; diedit oleh Mohammad Fahmi)
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar