Perkembangan teknologi blockchain dan mata uang digital (cryptocurrency) dalam beberapa tahun terakhir jelas menarik perhatian Bank Indonesia sebagai bank sentral di tanah air.
Sayangnya, sikap BI masih belum melunak dalam hal cryptocurrency yang sebenarnya juga dikembangkan dengan teknologi blockchain. Gubernur BI Agus Martowardojo masih menyatakan bahwa Bitcoin bukanlah alat pembayaran resmi di Indonesia. “Jadi masyarakat harus tahu jangan menggunakan Bitcoin sebagai alat pembayaran, karena artinya transaksi tersebut berisiko,” ujar Agus.
Sejumlah bank-bank lain, seperti Bank Mandiri dan BNI. Keduanya menyatakan belum menjalin kerja sama apapun dengan Bitcoin Indonesia, sebuah platform penukaran Bitcoin yang telah beroperasi di tanah air. Padahal, nama kedua bank tersebut sempat muncul di dalam platform tersebut.
Direktur BNI Anggoro Eko Cahyo menjelaskan bahwa pihaknya sejauh ini belum menyediakan dan menggunakan Bitcoin untuk bertransaksi. “Namun bisa jadi pembelian Bitcoin kepada perorangan atau pihak tertentu dilakukan dengan transfer uang rupiah lewat layanan BNI,” tutur Anggoro kepada Investor Daily.
Pemerintah Singapura tidak akan meregulasi cryptocurrency
Berbeda dengan BI, pihak pemerintah Singapura justru menyatakan bahwa mereka tidak akan meregulasi transaksi cryptocurrency. Meski begitu, mereka tetap akan waspada terhadap bahaya finansial yang mungkin ditimbulkan oleh mata uang digital tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg, Managing Director dari Monetary Authority of Singapore (MAS) Ravi Menon menyatakan bahwa pihaknya akan memantau aktivitas jual beli cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum sebelum memutuskan aturan seperti apa yang perlu mereka buat.
Saat ini, MAS juga tengah bekerja sama dengan beberapa lembaga pembayaran untuk memastikan bahwa platform penjualan cryptocurrency tetap menjalankan aturan Know Your Customer (KYC) dan Anti Pencucian Uang (AML) dengan baik.
Kebijakan ini pun menjadi angin segar bagi para startup blockchain dan cryptocurrency di Singapura. Hal ini pun menjadikan mereka serupa dengan Jepang dan Hong Kong yang juga menerapkan kebijakan yang sama, dan membuat ketiga negara tersebut berpotensi menjadi pusat startup blockchain di Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar