Oleh: Jacob D. Bekenstein
(Sumber: Scientific American Reports – Special Edition on Astrophysics, 2007, hal. 67-73)
"Hasil temuan teoritis tentang black hole mengisyaratkan bahwa alam semesta mungkin seperti hologram raksasa"
Tanyakan kepada setiap orang, dari apa dunia fisik kita terbuat, dan kemungkinan besar Anda akan mendapat jawaban “materi dan energi”. Jika kita mempelajari hal-hal dari ilmu teknik, biologi, dan fisika, informasi sama krusialnya dengan bahan. Robot di pabrik kendaraan disuplai dengan logam dan plastik tapi tidak bisa membuat apa-apa tanpa instruksi berlimpah yang memberitahunya bagian mana yang harus dilas dan seterusnya. Ribosom dalam sel di tubuh Anda disuplai dengan blok-blok penyusun asam amino dan ditenagai energi yang dilepaskan oleh konversi ATP menjadi ADP, tapi ia tidak dapat mensintesiskan protein tanpa informasi dari DNA di nukleus sel. Demikian pula halnya, seabad perkembangan fisika telah mengajari kita bahwa informasi adalah pemain krusial dalam sistem dan proses fisik. Bahkan, kecenderungan mutakhir, yang diprakarsai oleh John A. Wheeler dari Universitas Princeton, memandang dunia fisik terbuat dari informasi, sementara energi dan materi adalah sesuatu yang insidental.
Sudut pandang ini mengundang pandangan baru terhadap pertanyaan-pertanyaan yang patut dimuliakan. Kapasitas perangkat penyimpanan informasi seperti harddisk telah meningkat cepat sekali. Kapankah peningkatan seperti itu akan berhenti? Berapa kapasitas informasi tertinggi sebuah perangkat yang berbobot, katakanlah, kurang satu gram dan bisa masuk dalam alat berukuran satu centimeter kubik (kira-kira seukuran chip komputer)? Berapa banyak informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan seluruh alam semesta? Bisakah deskripsi tersebut masuk dalam memori komputer? Bisakah kita, sebagaimana ditulis William Blake, “melihat dunia dalam sebutir pasir”, ataukah ide tersebut tak lebih dari sekadar kebebasan syair?
Yang luar biasa, perkembangan mutakhir dalam fisika teoritis menjawab beberapa dari pertanyaan ini, dan jawabannya bisa menjadi petunjuk penting menuju teori realitas final. Dengan mempelajari sifat-sifat misterius black hole, fisikawan telah menarik batas mutlak pada jumlah informasi yang dapat ditampung oleh kawasan ruang atau kuantitas materi dan energi. Hasil-hasil terkait mengisyaratkan bahwa alam semesta kita, yang kita anggap mempunyai tiga dimensi ruang, mungkin justru “tertulis” pada permukaan dua dimensi, seperti hologram. Kalau begitu, persepsi keseharian kita bahwa dunia kita adalah [dunia] tiga-dimensi akan menjadi ilusi mendalam atau sekadar salah satu dari dua cara alternatif dalam memandang realitas. Sebutir pasir mungkin tidak mencakup dunia kita, tapi layar flat bisa.
Kisah Dua Entropi
Teori informasi formal dilahirkan dalam paper seminal tahun 1948 oleh matematikawan terapan asal Amerika, Claude E. Shannon, yang memperkenalkan ukuran kandungan informasi yang paling banyak digunakan hari ini: entropi. Entropi sudah lama menjadi konsep sentral termodinamika, cabang fisika yang membahas kalor/panas. Entropi termodinamika populernya dideskripsikan sebagai kelainan dalam sebuah sistem fisikal. Pada 1877, fisikawan Austria, Ludwig Boltzmann, menggolongkannya secara lebih akurat dari segi jumlah status mikroskopis berbeda bahwa partikel-partikel yang menyusun sebongkah materi bisa, dalam waktu yang sama, terlihat seperti bongkahan materi makroskopis tersebut. Contoh, untuk udara di ruangan sekitar Anda, seseorang akan beranggapan penuh bahwa masing-masing molekul gas terdistribusi di ruangan dan mereka sepenuhnya sedang bergerak.
Overview: Dunia sebagai Hologram
Entropi termodinamika dan entropi Shannon bersifat ekuivalen secara konseptual: jumlah susunan yang dihitung oleh entropi Boltzmann mencerminkan jumlah informasi Shannon yang dibutuhkan seseorang untuk mengimplementasikan susunan khusus. Tetapi, dua entropi ini mempunyai dua perbedaan menonjol. Pertama, entropi termodinamika yang digunakan oleh kimiawan atau insinyur pendinginan (refrigeration engineer) diekspresikan dalam satuan energi yang dibagi dengan temperatur, sementara entropi Shannon yang digunakan oleh insinyur komunikasi diekspresikan dalam bit, yang pada esensinya tak berdimensi. Perbedaan tersebut hanyalah soal kaidah.
Bahkan ketika diturunkan ke satuan umum, harga tipikal kedua entropi amat jauh berbeda. Sebuah mikrochip silikon yang memuat satu gigabyte data, contohnya, memiliki entropi Shannon sekitar 1010bit (1 byte adalah 8 bit), amat jauh lebih kecil dari entropi termodinamika chip, yaitu sekitar 1023 pada suhu ruangan. Selisih ini terjadi karena entropi dihitung untuk derajat kebebasan (degree of freedom) berbeda-beda. Derajat kebebasan adalah kuantitas yang bisa bervariasi, seperti koordinat yang menentukan lokasi partikel atau komponen kecepatannya. Entropi chip Shannon hanya mempedulikan status menyeluruh tiap-tiap transistor kecil yang tertanam dalam kristal silikon—transistor on atau off; yakni 0 atau 1—derajat kebebasan biner tunggal.
Entropi termodinamika, kebalikannya, bergantung kepada status semua atom (dan elektron penjelajahnya) yang menyusun tiap-tiap transistor. Seiring miniaturisasi yang semakin mendekatkan hari-hari di mana tiap atom akan menyimpan satu bit informasi untuk kita, magnitudo entropi mikrochip canggih Shannon yang berguna akan mendekat menuju entropi termodinamika materialnya. Saat kedua entropi dikalkulasi untuk derajat kebebasan yang sama, mereka setara.
Berapa derajat kebebasan tertinggi? Bagaimanapun, atom terbuat dari elektron dan nukleus, nukleus adalah kumpulan proton dan neutron, dan proton dan neutron tersusun dari quark. Banyak fisikawan hari ini yang menganggap elektron dan quark sebagai penstimulasi superstring, yang mereka hipotesiskan sebagai entitas paling fundamental. Tapi pergantian abad penyingkapan dalam fisika memperingatkan kita agar tidak bersikap dogmatis. Boleh jadi terdapat lebih banyak level struktur di alam semesta kita daripada yang dibayangkan fisika masa kini.
Seseorang tidak bisa mengkalkulasi kapasitas informasi tertinggi sebongkah materi atau, dengan kata lain, entropi termodinamika sejatinya, tanpa mengetahui sifat konstituen pokok materi tersebut atau level terdalam strukturnya, yang akan saya sebut sebagai level X. (Ambiguitas ini tidak menimbulkan masalah dalam menganalisa termodinamika praktis, seperti pada mesin mobil, misalnya, sebab quark-quark dalam atom dapat diabaikan—mereka tidak berubah status di bawah kondisi relatif ramah di dalam mesin.) Berdasarkan kemajuan miniaturisasi yang memusingkan, seseorang bisa merenungkan seharian kapan quark akan menyimpan informasi, satu bit sepotong. Berapa banyak informasi yang akan termuat pas dalam kubus satu centimeter kita? Dan berapa banyak [informasi yang akan termuat] jika kita memakai superstring atau bahkan level lebih dalam yang belum terbayangkan? Yang mengejutkan, perkembangan fisika gravitasi dalam 3 dekade terakhir telah menyediakan beberapa jawaban gamblang untuk pertanyaan yang terasa sukar dimengerti.
Termodinamika Black Hole
Pemain sentral dalam perkembangan ini adalah black hole. Black hole merupakan konsekuensi dari relativitas umum, teori geometri gravitasi Albert Einstein, yang dipublikasikan pada 1915. Menurut teori ini, gravitasi timbul akibat lengkungan ruangwaktu, yang membuat objek-objek seolah-olah bergerak ditarik oleh suatu gaya. Padahal, lengkungan tersebut disebabkan oleh kehadiran materi dan energi. Menurut persamaan Einstein, konsentrasi materi atau energi yang cukup padat akan melengkungkan ruangwaktu begitu ekstrim sehingga ia koyak, membentuk black hole. Hukum relativitas melarang sesuatu yang masuk ke dalam black hole dapat keluar lagi, setidaknya menurut uraian fisika klasik (non-quantum). Point of no return (titik di mana kita tak dapat kembali darinya-penj), disebut horizon peristiwa black hole, adalah sangat penting. Dalam kasus paling sederhana, horizon adalah bola, yang area permukaannya lebih besar untuk black hole yang lebih masif.
Adalah mustahil untuk menetapkan apa yang berada di dalam sebuah black hole. Tak ada informasi detail yang dapat muncul menyeberangi horizon tersebut dan melarikan diri ke dunia luar. Namun, dalam kemenghilangan menjadi black hole untuk selamanya, sepotong materi meninggalkan beberapa jejak. Energinya (kita menganggap massa sebagai energi menurut E = mc2 Einstein) tercermin secara permanen pada kenaikan massa black hole. Jika materi tertangkap saat mengedari lubang tersebut (black hole), momentum angularnya ditambahkan pada momentum angular black hole. Massa dan momentum angular black hole dapat diukur dari efeknya terhadap ruangwaktu di sekitar lubang. Dengan demikian, hukum kekekalan energi dan momentum angular ditopang oleh black hole. Hukum fundamental lain, hukum termodinamika kedua, kelihatannya dilanggar.
Hukum termodinamika kedua meringkas observasi familiar bahwa sebagian besar proses di alam tidak dapat dibalik: cangkir teh jatuh dari meja dan pecah, tapi tak ada yang pernah melihat pecahannya melompat naik atas kemauannya sendiri dan merangkai menjadi cangkir teh. Hukum termodinamika kedua melarang proses inversi (pembalikan) semacam itu. Ia menyatakan bahwa entropi suatu sistem fisikal yang terisolasi takkan mungkin berkurang; paling banter, entropi tetap konstan, dan biasanya ia bertambah. Hukum ini merupakan sentral bagi ilmu kimia fisika dan teknik; ia adalah hukum fisika dengan dampak terbesar di luar fisika.
Sebagaimana pertama kali ditekankan oleh Wheeler, ketika materi menghilang ke dalam black hole, entropinya lenyap selama-lamanya, dan hukum kedua rasanya terlanggar, menjadi tak relevan. Petunjuk untuk memecahkan teka-teka ini muncul pada 1970, ketika Demetrious Christodoulou, kala itu mahasiswa sarjana Wheeler di Princeton, dan Stephen Hawking dari Universitas Cambridge secara terpisah membuktikan bahwa dalam beragam proses, seperti penggabungan black hole, area total horizon peristiwa tak pernah berkurang. Analogi dengan kecenderungan pertambahan entropi telah mendorong saya pada 1972 untuk mengajukan bahwa black hole mempunyai entropi yang proporsional dengan area horizonnya [lihat ilustrasi]. Saya menduga bahwa saat materi jatuh ke dalam black hole, penambahan entropi black hole selalu mengkompensasi atau melampaui entropi materi yang “hilang”. Secara lebih umum, jumlah entropi black hole dan entropi biasa di luar black hole tidak mungkin berkurang. Ini adalah hukum kedua umum—disingkat GSL (generalized second law).
GSL telah melewati sejumlah besar pengujian teoritis keras dan murni. Saat sebuah bintang kolaps membentuk black hole, entropi black hole tersebut jauh melampaui entropi bintang tadi. Pada 1974, Hawking mendemonstrasikan bahwa black hole secara spontan memancarkan radiasi termal, kini dikenal sebagai radiasi Hawking, melalui proses quantum. Teorema Christodoulou-Hawking gagal dalam menghadapi fenomena ini (massa black hole, dan area horizon, berkurang), tapi GSL menanggulanginya: entropi radiasi yang timbul adalah lebih banyak dari kompensasi untuk pengurangan entropi black hole, sehingga GSL terjaga. Pada 1986, Rafael D. Sorkin dari Universitas Syracuse mengeksploitasi peranan horizon dalam menghalangi informasi di dalam black hole mempengaruhi keadaan di luar untuk menunjukkan bahwa GSL (atau yang serupa dengannya) pasti valid untuk proses terbayangkan yang dijalani oleh black hole. Argumennya yang mendalam memperjelas bahwa entropi yang masuk GSL adalah entropi yang terkalkulasi turun ke level X, berapa pun levelnya semula.
Proses radiasi usulan Hawking memungkinkan dirinya menentukan konstanta proporsionalitas di antara entropi black hole dan area horizon: entropi black hole tepat seperempat area horizon peristiwa yang diukur menurut area Planck. (Panjang Planck, sekitar 10-33centimeter, adalah skala panjang fundamental yang terkait dengan gravitasi dan mekanika quantum. Area Planck adalah kuadratnya.) Dari segi termodinamika sekalipun, entropi ini sangat besar. Entropi black hole berdiameter 1 centimeter adalah sekitar 1066 bit, kira-kira setara dengan entropi termodinamika 10 miliar kilometer kubik air di satu sisi saja.
Dunia sebagai Hologram
GSL memperkenankan kita untuk memasang batas pada kapasitas informasi suatu sistem fisikal terisolasi, batas yang merujuk kepada informasi di semua level struktur sampai level X. Pada 1980, saya mulai mempelajari batas pertama semacam itu, disebut universal entropy bound (batas entropi universal), yang membatasi jumlah entropi yang dapat dimuat oleh massa spesifik berukuran spesifik [lihat ilustrasi]. Sebuah gagasan terkait, yaitu batas holografis, diramalkan pada 1993 oleh peraih Nobel, Gerard t’Hooft dari Universitas Utrecht di Belanda, dan dikembangkan pada 1995 oleh Leonard Susskind dari Universitas Stanford. Gagasan itu membatasi jumlah entropi yang dapat terkandung dalam materi dan energi yang menempati volume ruang spesifik.
Dalam penelitiannya tentang batas holografis, Susskind mempertimbangkan massa terisolasi yang kurang-lebih bundar yang bukan black hole dan yang masuk ke dalam permukaan area A yang tertutup. Karenanya, entropi black hole adalah lebih kecil dari A/4. Menurut GSL, entropi sistem tidak mungkin berkurang, sehingga entropi awal massa tersebut tidak mungkin lebih besar dari A/4. Disusul, entropi suatu sistem fisikal terisolasi berarea perbatasan A adalah harus kurang dari A/4. Bagaimana jika massa tersebut tidak kolaps secara spontan? Pada tahun 2000, saya menunjukkan bahwa sebuah black hole kecil dapat digunakan untuk mengkonversi sistem menjadi black hole yang tak jauh berbeda dari black hole dalam argumen Susskind. Oleh karena itu, batas ini terbebas dari komposisi sistem atau sifat level X. Ia hanya tergantung kepada GSL.
Sekarang kita bisa menjawab beberapa pertanyaan yang sulit dimengerti mengenai batas tertinggi penyimpanan informasi. Sebuah perangkat berukuran satu centimeter secara prinsip dapat menyimpan sampai 1066 bit—jumlah yang mengejutkan. Alam semesta tampak (visible universe) sekurangnya mengandung 10100bit entropi, yang secara prinsip bisa dikemas dalam sebuah bola berdiameter sepersepuluh tahun-cahaya. Bagaimanapun, mengestimasi entropi alam semesta adalah persoalan sulit, dan keberadaan jumlah yang jauh lebih besar, yang memerlukan bola hampir sebesar alam semesta sendiri, adalah masuk akal sepenuhnya.
Tapi ada aspek batas hologram lain yang betul-betul mengherankan. Yaitu, entropi maksimum potensial tergantung kepada area perbatasan, bukan volume. Bayangkan kita menumpuk chip memori komputer dalam tumpukan besar. Jumlah transistor—kapasitas penyimpanan data total—bertambah seiring volume tumpukan. Sehingga, demikian pula halnya dengan entropi termodinamika total seluruh chip. Yang luar biasa, kapasitas teoritis informasi tertinggi ruang yang ditempati oleh tumpukan hanya bertambah seiring [bertambahnya] area permukaan. Karena volume bertambah secara lebih cepat daripada area permukaan, pada suatu titik entropi seluruh chip akan melampaui batas holografis. Kelihatannya baik GSL ataupun ide logis kita tentang entropi dan kapasitas informasi pasti gagal. Kenyataannya, yang gagal adalah tumpukan itu sendiri: ia akan kolaps akibat gravitasinya sendiri dan membentuk black hole sebelum kebuntuan tercapai. Oleh karena itu, setiap chip memori tambahan akan menambah massa dan area permukaan black hole sampai taraf tertentu sehingga terus mempertahankan GSL.
Hasil mengejutkan ini—bahwa kapasitas informasi tergantung kepada area permukaan—memiliki penjelasan alami jika prinsipholografi (diajukan oleh ‘t Hooft dan diuraikan oleh Susskind) adalah benar. Dalam dunia keseharian, hologram adalah foto jenis khusus yang membangkitkan citra tiga dimensi penuh manakala diberi penerangan dengan cara yang tepat. Semua informasi yang menggambarkan adegan 3-D di-encode menjadi pola area terang dan gelap pada kepingan film dua-dimensi, siap dibangkitkan ulang. Prinsip holografi beranggapan bahwa analogi sihir visual ini berlaku pada deskripsi fisikal penuh suatu sistem yang menempati kawasan 3-D: [prinsip] ini mengajukan bahwa teori fisika yang didefinisikan hanya berdasar perbatasan kawasan 2-D [sebetulnya juga] mendeskripsikan sepenuhnya fisika 3-D. Jika sebuah sistem 3-D bisa sepenuhnya dideskripsikan oleh teori fisika yang beroperasi di perbatasan 2-D semata-mata, seseorang akan menduga bahwa kandungan informasi sistem tersebut tidak melampaui kandungan deskripsi tentang perbatasan 2-D ini.
Alam Semesta yang Tercat pada Perbatasannya
Bisakah kita memberlakukan prinsip holografi pada alam semesta secara keseluruhan? Alam semesta riil adalah sistem 4-D: ia mempunyai volume dan bentangan waktu. Jika fisika alam semesta kita adalah holografi, akan ada seperangkat hukum fisika alternatif, membedah perbatasan ruangwaktu 3-D di suatu tempat, yang ekuivalen dengan fisika 4-D yang kita kenal. Kita masih belum tahu teori 3-D yang bekerja dengan cara demikian. Sebetulnya, permukaan apa yang semestinya kita gunakan sebagai perbatasan alam semesta? Langkah menuju realisasi ide ini adalah mempelajari model-model yang lebih sederhana dari alam semesta riil kita.
Segolongan contoh konkret prinsip kerja holografi melibatkan apa yang disebut ruangwaktu anti-de Sitter. Ruangwaktu de Sitter adalah model alam semesta yang pertama kali diperoleh oleh astronom Belanda, Willem de Sitter, pada 1917 sebagai solusi persamaan Einstein, mencakup gaya repulsif (tolak) yang dikenal sebagai konstanta kosmologis. Ruangwaktu de Sitter adalah hampa, mengembang pada suatu laju akselerasi dan amat sangat simetris. Pada 1997, para astronom yang mempelajari ledakan-ledakan supernova jauh menyimpulkan bahwa alam semesta kita kini mengembang dalam mode mencepat/berakselerasi dan barangkali akan semakin mirip ruangwaktu de Sitter di masa depan. Nah, bila konstanta repulsif kosmologis digantikan oleh gaya tarik, solusi de Sitter berubah menjadi ruangwaktu anti-de Sitter, yang sama-sama memiliki kesimetrian sebanyak itu. Yang lebih penting untuk konsep holografi, ia memiliki perbatasan, yang berlokasi “di ketakterhinggaan” dan sangat mirip ruangwaktu keseharian kita.
Menggunakan ruangwaktu anti-de Sitter, para teoris memikirkan contoh konkret prinsip kerja holografi: alam semesta yang menurut teori superstring berfungsi di ruangwaktu anti-de Sitter adalah ekuivalen sepenuhnya dengan teori medan quantum yang membedah perbatasan ruangwaktu tersebut [lihat ilustrasi]. Dengan demikian, kekuasaan penuh teori superstring di alam semesta anti-de Sitter tercat pada perbatasan alam semesta tersebut. Juan Maldacena, kala itu di Universitas Harvard, pertama kali memperkirakan hubungan semacam itu pada 1997 untuk kasus anti-de Sitter 5-D, dan itu kemudian dikonfirmasi untuk banyak situasi oleh Edward Witten dari Institute for Advanced Study di Princeton, N.J., dan Steven S. Gubser, Igor R. Klebanov, dan Alexander M. Polyakov dari Universitas Princeton. Contoh-contoh persesuaian holografis ini sekarang dikenal atas ruangwaktunya yang mempunyai beragam dimensi.
Hasil temuan ini mengandung arti bahwa dua teori yang seolah-olah sangat berbeda—sekalipun bertindak di ruang berdimensi sama—adalah ekuivalen. Makhluk-makhluk yang hidup di salah satu alam semesta ini tidak akan mampu menetapkan apakah mereka menghuni alam semesta 5-D yang digambarkan oleh teori string atau alam semesta 4-D yang digambarkan oleh teori medan quantum partikel-partikel point (titik/dasar). (Tentu saja, struktur otak mereka bisa memberi mereka banyak praduga “masuk akal” untuk memperkuat deskripsi yang satu atau lainnya, membentuk rintangan sehingga otak kita mengkonstruksi persepsi lahiriah bahwa alam semesta kita mempunyai tiga dimensi ruang; lihat ilustrasi.)
Keekuivalenan holografis bisa memungkinkan penukaran kalkulasi sulit di ruangwaktu perbatasan 4-D, seperti perilaku quark dan gluon, dengan kalkulasi mudah di ruangwaktu anti-de Sitter 5-D yang sangat simetris. Persesuaian juga bekerja dengan cara lain. Witten telah menunjukkan bahwa sebuah black hole di ruangwaktu anti-de Sitter bersesuaian dengan radiasi panas dalam fisika alternatif yang membedah ruangwaktu berbatas. Entropi lubang tersebut—sebuah konsep yang sangat misterius—sama dengan entropi radiasi, yang mana sungguh biasa.
Alam Semesta yang Mengembang
Sangat simetris dan hampa, alam semesta anti-de Sitter 5-D hampir tidak seperti alam semesta kita yang eksis di 4-D, berisi materi dan radiasi, dan dipenuhi peristiwa-peristiwa keras. Sekalipun kita menaksir alam semesta riil kita dengan alam semesta yang materi dan radiasinya tersebar secara seragam, kita tidak mendapatkan alam semesta anti-de Sitter, melainkan alam semesta “Friedmann-Robertson-Walker” (FRW). Sebagian besar kosmolog hari ini setuju bahwa alam semesta kita menyerupai alam semesta FRW, alam semesta yang tak terhingga, tidak memiliki perbatasan dan akan terus mengembang tanpa henti.
Apakah alam semesta semacam itu memenuhi prinsip holografi atau batas holografis? Argumen Susskind yang didasarkan pada kekolapsan menjadi black hole tidaklah membantu di sini. Tentu saja, batas holografis yang disimpulkan dari black hole pasti runtuh di alam semesta seragam yang mengembang. Entropi sebuah kawasan yang secara seragam berisi materi dan radiasi adalah betul-betul proporsional dengan volumenya. Karenanya, kawasan yang cukup besar akan melanggar batas holografis.
Pada 1999, Raphael Busso, kala itu di Stanford, mengajukan modifikasi batas holografis (modified holographic bound), yang sejak saat itu telah ditemukan berfungsi sekalipun dalam situasi di mana batas yang kita bahas sebelumnya tidak dapat diterapkan. Rumusan Busso dimulai dengan permukaan 2-D yang cocok; ia bisa tertutup seperti bola atau terbuka seperti sehelai kertas. Seseorang lantas membayangkan ledakan singkat cahaya yang keluar secara simultan dan perpendikuler (tegak lurus) dari satu sisi permukaan tersebut. Satu-satunya tuntutan adalah bahwa, sebagai permulaan, sinar-sinar cahaya imajiner itu harus berkonvergensi. Cahaya yang dipancarkan dari permukaan dalam (inner surface) cangkang bundar, misalnya, memenuhi persyaratan itu. Seseorang lalu mempertimbangkan entropi materi dan radiasi yang dilewati sinar-sinar imajiner ini, sampai pada poin di mana mereka mulai melintas. Busso menerka bahwa entropi ini tidak boleh melampaui entropi yang diwakili oleh permukaan awal—seperempat areanya, diukur menurut area Planck. Ini adalah cara penyesuaian entropi yang berbeda ketimbang yang dipakai dalam batas holografis. Batas Busso tidak merujuk kepada entropi sebuah kawasan pada suatu waktu, tapi lebih kepada jumlah entropi lokal di berbagai waktu: mereka yang “diterangi” oleh ledakan cahaya dari permukaan.
Batas Busso memasukkan batas-batas entropi lain seraya menghindari pembatasan mereka. Batas entropi universal maupun bentuk batas holografis ‘t Hooft-Susskind dapat disimpulkan dari batas Busso untuk sistem terisolasi yang tidak berkembang cepat dan yang medan gravitasinya tidak kuat. Manakala syarat-syarat ini terlanggar—seperti untuk bola materi kolaps yang berada di dalam black hole—batas-batas ini [batas entropi universal dan batas holografis ‘t Hooft-Susskind] pada akhirnya gagal, sedangkan batas Busso terus bertahan. Busso juga telah menunjukkan bahwa strateginya bisa dipakai untuk menemukan permukaan-permukaan 2-D yang di atasnya hologram dunia dapat diset.
Peramal Revolusi
Para periset telah mengajukan banyak batas entropi lain. Perkembangbiakan variasi motif holografi memperjelas bahwa subjek ini masih belum mencapai status hukum fisika. Tapi walaupun cara pikir holografi belum sepenuhnya dimengerti, kelihatannya ia ada untuk tinggal. Dan dengan datangnya ia, keyakinan fundamental, yang mendominasi selama 50 tahun, bahwa teori medan adalah bahasa tertinggi fisika, harus memberi jalan. Medan, seperti medan elektromagnetik, terus-menerus berubah dari titik ke titik, dan dengan demikian mereka menggambarkan ketakterhinggaan derajat kebebasan. Teori superstring juga merangkul jumlah derajat kebebasan yang tak terhingga. Holografi membatasi jumlah derajat kebebasan yang dapat ada di dalam suatu permukaan berbatas ke jumlah terhingga; teori medan dengan ketakterhinggaannya tidak dapat menjadi teori final. Lagipula, sekalipun ketakterhinggaan dijinakkan, misteri ketergantungan informasi terhadap area permukaan harus dipecahkan.
Holografi mungkin bisa menjadi penuntun menuju teori yang lebih baik. Seperti apakah teori fundamental? Rantai pemikiran yang melibatkan holografi, bagi beberapa orang, khususnya Lee Smolin dari Perimeter Institute for Theoretical Physics di Waterloo, Ontario, menyatakan bahwa teori final tidak harus menyangkut medan, pun tidak ruangwaktu, tapi lebih menyangkut pertukaran informasi di antara proses-proses fisikal. Bila demikian, pandangan tentang informasi sebagai penyusun dunia akan menemukan pengejawantahan yang layak.
Penulis
Jacob D. Bekenstein telah berkontribusi terhadap fondasi termodinamika black hole dan aspek lain dalam hubungan antara informasi dan gravitasi. Dia adalah Polak Professor Theoretical Physics di Universitas Hebrew Yerusalem, anggota Israel Academy of Sciences and Humanities, dan penerima penghargaan Rothschild dan Israel. Bekenstein mendedikasikan artikel ini kepada john Archibald Wheeler (pembimbing Ph.D.-nya 30 tahun silam). Wheeler termasuk ke dalam generasi ketiga mahasiswa Ludwig Boltzmann; pembimbing Ph.D. Wheeler, Karl Herzfeld, adalah mahasiswa dari Friedrich Hasenöhrl (seorang mahasiswa Boltzmann).
Untuk Digali Lebih Jauh
sumber
(Sumber: Scientific American Reports – Special Edition on Astrophysics, 2007, hal. 67-73)
"Hasil temuan teoritis tentang black hole mengisyaratkan bahwa alam semesta mungkin seperti hologram raksasa"
Tanyakan kepada setiap orang, dari apa dunia fisik kita terbuat, dan kemungkinan besar Anda akan mendapat jawaban “materi dan energi”. Jika kita mempelajari hal-hal dari ilmu teknik, biologi, dan fisika, informasi sama krusialnya dengan bahan. Robot di pabrik kendaraan disuplai dengan logam dan plastik tapi tidak bisa membuat apa-apa tanpa instruksi berlimpah yang memberitahunya bagian mana yang harus dilas dan seterusnya. Ribosom dalam sel di tubuh Anda disuplai dengan blok-blok penyusun asam amino dan ditenagai energi yang dilepaskan oleh konversi ATP menjadi ADP, tapi ia tidak dapat mensintesiskan protein tanpa informasi dari DNA di nukleus sel. Demikian pula halnya, seabad perkembangan fisika telah mengajari kita bahwa informasi adalah pemain krusial dalam sistem dan proses fisik. Bahkan, kecenderungan mutakhir, yang diprakarsai oleh John A. Wheeler dari Universitas Princeton, memandang dunia fisik terbuat dari informasi, sementara energi dan materi adalah sesuatu yang insidental.
Sudut pandang ini mengundang pandangan baru terhadap pertanyaan-pertanyaan yang patut dimuliakan. Kapasitas perangkat penyimpanan informasi seperti harddisk telah meningkat cepat sekali. Kapankah peningkatan seperti itu akan berhenti? Berapa kapasitas informasi tertinggi sebuah perangkat yang berbobot, katakanlah, kurang satu gram dan bisa masuk dalam alat berukuran satu centimeter kubik (kira-kira seukuran chip komputer)? Berapa banyak informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan seluruh alam semesta? Bisakah deskripsi tersebut masuk dalam memori komputer? Bisakah kita, sebagaimana ditulis William Blake, “melihat dunia dalam sebutir pasir”, ataukah ide tersebut tak lebih dari sekadar kebebasan syair?
Yang luar biasa, perkembangan mutakhir dalam fisika teoritis menjawab beberapa dari pertanyaan ini, dan jawabannya bisa menjadi petunjuk penting menuju teori realitas final. Dengan mempelajari sifat-sifat misterius black hole, fisikawan telah menarik batas mutlak pada jumlah informasi yang dapat ditampung oleh kawasan ruang atau kuantitas materi dan energi. Hasil-hasil terkait mengisyaratkan bahwa alam semesta kita, yang kita anggap mempunyai tiga dimensi ruang, mungkin justru “tertulis” pada permukaan dua dimensi, seperti hologram. Kalau begitu, persepsi keseharian kita bahwa dunia kita adalah [dunia] tiga-dimensi akan menjadi ilusi mendalam atau sekadar salah satu dari dua cara alternatif dalam memandang realitas. Sebutir pasir mungkin tidak mencakup dunia kita, tapi layar flat bisa.
Kisah Dua Entropi
Teori informasi formal dilahirkan dalam paper seminal tahun 1948 oleh matematikawan terapan asal Amerika, Claude E. Shannon, yang memperkenalkan ukuran kandungan informasi yang paling banyak digunakan hari ini: entropi. Entropi sudah lama menjadi konsep sentral termodinamika, cabang fisika yang membahas kalor/panas. Entropi termodinamika populernya dideskripsikan sebagai kelainan dalam sebuah sistem fisikal. Pada 1877, fisikawan Austria, Ludwig Boltzmann, menggolongkannya secara lebih akurat dari segi jumlah status mikroskopis berbeda bahwa partikel-partikel yang menyusun sebongkah materi bisa, dalam waktu yang sama, terlihat seperti bongkahan materi makroskopis tersebut. Contoh, untuk udara di ruangan sekitar Anda, seseorang akan beranggapan penuh bahwa masing-masing molekul gas terdistribusi di ruangan dan mereka sepenuhnya sedang bergerak.
Overview: Dunia sebagai Hologram
- Sebuah teori mengagumkan yang disebut prinsip holografi (holographic principle) menganggap bahwa alam semesta adalah seperti hologram: sebagaimana trik cahaya yang memungkinkan citra tiga-dimensi penuh terekam pada potongan film flat, alam semesta kita yang kelihatannya tiga dimensi boleh jadi ekuivalen sepenuhnya dengan medan quantum dan hukum fisika alternatif yang “tercat” di sebuah permukaan jauh yang luas.
- Fisika black hole—konsentrasi massa yang amat padat—menyediakan isyarat bahwa prinsip holografi mungkin benar. Studi black hole menunjukkan bahwa, walaupun tidak masuk akal, kandungan entropi atau informasi maksimum suatu kawasan ruang bukan ditentukan oleh volumenya, melainkan area permukaannya.
Ketika Shannon mencari cara untuk menentukan jumlah informasi yang terkandung dalam, katakanlah, sebuah pesan, dia tertuntun oleh logika ke sebuah rumus yang memiliki bentuk yang sama dengan rumus Boltzmann. Entropi pesan Shannon adalah jumlah digit biner, atau bit, yang dibutuhkan untuk meng-encode-nya. Entropi Shannon tidak menerangkan kepada kita tentang harga informasi, yang sangat bergantung pada konteks. Tapi sebagai ukuran objektif kuantitas informasi, ini telah sangat bermanfaat dalam sains dan teknologi. Contohnya, desain setiap perangkat komunikasi modern—dari telepon seluler, modem, sampai CD player—bersandar pada entropi Shannon.
- Fisikawan berharap bahwa temuan mengejutkan ini menjadi petunjuk menuju teori realitas final.
Entropi termodinamika dan entropi Shannon bersifat ekuivalen secara konseptual: jumlah susunan yang dihitung oleh entropi Boltzmann mencerminkan jumlah informasi Shannon yang dibutuhkan seseorang untuk mengimplementasikan susunan khusus. Tetapi, dua entropi ini mempunyai dua perbedaan menonjol. Pertama, entropi termodinamika yang digunakan oleh kimiawan atau insinyur pendinginan (refrigeration engineer) diekspresikan dalam satuan energi yang dibagi dengan temperatur, sementara entropi Shannon yang digunakan oleh insinyur komunikasi diekspresikan dalam bit, yang pada esensinya tak berdimensi. Perbedaan tersebut hanyalah soal kaidah.
Bahkan ketika diturunkan ke satuan umum, harga tipikal kedua entropi amat jauh berbeda. Sebuah mikrochip silikon yang memuat satu gigabyte data, contohnya, memiliki entropi Shannon sekitar 1010bit (1 byte adalah 8 bit), amat jauh lebih kecil dari entropi termodinamika chip, yaitu sekitar 1023 pada suhu ruangan. Selisih ini terjadi karena entropi dihitung untuk derajat kebebasan (degree of freedom) berbeda-beda. Derajat kebebasan adalah kuantitas yang bisa bervariasi, seperti koordinat yang menentukan lokasi partikel atau komponen kecepatannya. Entropi chip Shannon hanya mempedulikan status menyeluruh tiap-tiap transistor kecil yang tertanam dalam kristal silikon—transistor on atau off; yakni 0 atau 1—derajat kebebasan biner tunggal.
Entropi termodinamika, kebalikannya, bergantung kepada status semua atom (dan elektron penjelajahnya) yang menyusun tiap-tiap transistor. Seiring miniaturisasi yang semakin mendekatkan hari-hari di mana tiap atom akan menyimpan satu bit informasi untuk kita, magnitudo entropi mikrochip canggih Shannon yang berguna akan mendekat menuju entropi termodinamika materialnya. Saat kedua entropi dikalkulasi untuk derajat kebebasan yang sama, mereka setara.
Berapa derajat kebebasan tertinggi? Bagaimanapun, atom terbuat dari elektron dan nukleus, nukleus adalah kumpulan proton dan neutron, dan proton dan neutron tersusun dari quark. Banyak fisikawan hari ini yang menganggap elektron dan quark sebagai penstimulasi superstring, yang mereka hipotesiskan sebagai entitas paling fundamental. Tapi pergantian abad penyingkapan dalam fisika memperingatkan kita agar tidak bersikap dogmatis. Boleh jadi terdapat lebih banyak level struktur di alam semesta kita daripada yang dibayangkan fisika masa kini.
Seseorang tidak bisa mengkalkulasi kapasitas informasi tertinggi sebongkah materi atau, dengan kata lain, entropi termodinamika sejatinya, tanpa mengetahui sifat konstituen pokok materi tersebut atau level terdalam strukturnya, yang akan saya sebut sebagai level X. (Ambiguitas ini tidak menimbulkan masalah dalam menganalisa termodinamika praktis, seperti pada mesin mobil, misalnya, sebab quark-quark dalam atom dapat diabaikan—mereka tidak berubah status di bawah kondisi relatif ramah di dalam mesin.) Berdasarkan kemajuan miniaturisasi yang memusingkan, seseorang bisa merenungkan seharian kapan quark akan menyimpan informasi, satu bit sepotong. Berapa banyak informasi yang akan termuat pas dalam kubus satu centimeter kita? Dan berapa banyak [informasi yang akan termuat] jika kita memakai superstring atau bahkan level lebih dalam yang belum terbayangkan? Yang mengejutkan, perkembangan fisika gravitasi dalam 3 dekade terakhir telah menyediakan beberapa jawaban gamblang untuk pertanyaan yang terasa sukar dimengerti.
Termodinamika Black Hole
Pemain sentral dalam perkembangan ini adalah black hole. Black hole merupakan konsekuensi dari relativitas umum, teori geometri gravitasi Albert Einstein, yang dipublikasikan pada 1915. Menurut teori ini, gravitasi timbul akibat lengkungan ruangwaktu, yang membuat objek-objek seolah-olah bergerak ditarik oleh suatu gaya. Padahal, lengkungan tersebut disebabkan oleh kehadiran materi dan energi. Menurut persamaan Einstein, konsentrasi materi atau energi yang cukup padat akan melengkungkan ruangwaktu begitu ekstrim sehingga ia koyak, membentuk black hole. Hukum relativitas melarang sesuatu yang masuk ke dalam black hole dapat keluar lagi, setidaknya menurut uraian fisika klasik (non-quantum). Point of no return (titik di mana kita tak dapat kembali darinya-penj), disebut horizon peristiwa black hole, adalah sangat penting. Dalam kasus paling sederhana, horizon adalah bola, yang area permukaannya lebih besar untuk black hole yang lebih masif.
Adalah mustahil untuk menetapkan apa yang berada di dalam sebuah black hole. Tak ada informasi detail yang dapat muncul menyeberangi horizon tersebut dan melarikan diri ke dunia luar. Namun, dalam kemenghilangan menjadi black hole untuk selamanya, sepotong materi meninggalkan beberapa jejak. Energinya (kita menganggap massa sebagai energi menurut E = mc2 Einstein) tercermin secara permanen pada kenaikan massa black hole. Jika materi tertangkap saat mengedari lubang tersebut (black hole), momentum angularnya ditambahkan pada momentum angular black hole. Massa dan momentum angular black hole dapat diukur dari efeknya terhadap ruangwaktu di sekitar lubang. Dengan demikian, hukum kekekalan energi dan momentum angular ditopang oleh black hole. Hukum fundamental lain, hukum termodinamika kedua, kelihatannya dilanggar.
Hukum termodinamika kedua meringkas observasi familiar bahwa sebagian besar proses di alam tidak dapat dibalik: cangkir teh jatuh dari meja dan pecah, tapi tak ada yang pernah melihat pecahannya melompat naik atas kemauannya sendiri dan merangkai menjadi cangkir teh. Hukum termodinamika kedua melarang proses inversi (pembalikan) semacam itu. Ia menyatakan bahwa entropi suatu sistem fisikal yang terisolasi takkan mungkin berkurang; paling banter, entropi tetap konstan, dan biasanya ia bertambah. Hukum ini merupakan sentral bagi ilmu kimia fisika dan teknik; ia adalah hukum fisika dengan dampak terbesar di luar fisika.
Sebagaimana pertama kali ditekankan oleh Wheeler, ketika materi menghilang ke dalam black hole, entropinya lenyap selama-lamanya, dan hukum kedua rasanya terlanggar, menjadi tak relevan. Petunjuk untuk memecahkan teka-teka ini muncul pada 1970, ketika Demetrious Christodoulou, kala itu mahasiswa sarjana Wheeler di Princeton, dan Stephen Hawking dari Universitas Cambridge secara terpisah membuktikan bahwa dalam beragam proses, seperti penggabungan black hole, area total horizon peristiwa tak pernah berkurang. Analogi dengan kecenderungan pertambahan entropi telah mendorong saya pada 1972 untuk mengajukan bahwa black hole mempunyai entropi yang proporsional dengan area horizonnya [lihat ilustrasi]. Saya menduga bahwa saat materi jatuh ke dalam black hole, penambahan entropi black hole selalu mengkompensasi atau melampaui entropi materi yang “hilang”. Secara lebih umum, jumlah entropi black hole dan entropi biasa di luar black hole tidak mungkin berkurang. Ini adalah hukum kedua umum—disingkat GSL (generalized second law).
GSL telah melewati sejumlah besar pengujian teoritis keras dan murni. Saat sebuah bintang kolaps membentuk black hole, entropi black hole tersebut jauh melampaui entropi bintang tadi. Pada 1974, Hawking mendemonstrasikan bahwa black hole secara spontan memancarkan radiasi termal, kini dikenal sebagai radiasi Hawking, melalui proses quantum. Teorema Christodoulou-Hawking gagal dalam menghadapi fenomena ini (massa black hole, dan area horizon, berkurang), tapi GSL menanggulanginya: entropi radiasi yang timbul adalah lebih banyak dari kompensasi untuk pengurangan entropi black hole, sehingga GSL terjaga. Pada 1986, Rafael D. Sorkin dari Universitas Syracuse mengeksploitasi peranan horizon dalam menghalangi informasi di dalam black hole mempengaruhi keadaan di luar untuk menunjukkan bahwa GSL (atau yang serupa dengannya) pasti valid untuk proses terbayangkan yang dijalani oleh black hole. Argumennya yang mendalam memperjelas bahwa entropi yang masuk GSL adalah entropi yang terkalkulasi turun ke level X, berapa pun levelnya semula.
Proses radiasi usulan Hawking memungkinkan dirinya menentukan konstanta proporsionalitas di antara entropi black hole dan area horizon: entropi black hole tepat seperempat area horizon peristiwa yang diukur menurut area Planck. (Panjang Planck, sekitar 10-33centimeter, adalah skala panjang fundamental yang terkait dengan gravitasi dan mekanika quantum. Area Planck adalah kuadratnya.) Dari segi termodinamika sekalipun, entropi ini sangat besar. Entropi black hole berdiameter 1 centimeter adalah sekitar 1066 bit, kira-kira setara dengan entropi termodinamika 10 miliar kilometer kubik air di satu sisi saja.
Dunia sebagai Hologram
GSL memperkenankan kita untuk memasang batas pada kapasitas informasi suatu sistem fisikal terisolasi, batas yang merujuk kepada informasi di semua level struktur sampai level X. Pada 1980, saya mulai mempelajari batas pertama semacam itu, disebut universal entropy bound (batas entropi universal), yang membatasi jumlah entropi yang dapat dimuat oleh massa spesifik berukuran spesifik [lihat ilustrasi]. Sebuah gagasan terkait, yaitu batas holografis, diramalkan pada 1993 oleh peraih Nobel, Gerard t’Hooft dari Universitas Utrecht di Belanda, dan dikembangkan pada 1995 oleh Leonard Susskind dari Universitas Stanford. Gagasan itu membatasi jumlah entropi yang dapat terkandung dalam materi dan energi yang menempati volume ruang spesifik.
Batas Densitas Informasi
Termodinamika black hole memungkinkan seseorang menarik kesimpulan mengenai batas densitas entropi atau informasi dalam berbagai kondisi. Batas holografis menetapkan jumlah informasi yang dapat dimuat dikawasan ruang spesifik. Itu bisa didapat dengan mempertimbangkan distribusi materi yang kurang lebih bundar yang terkandung dalam permukaan area A. Materi distimulasi untuk kolaps membentuk black hole (a). Area black hole harus lebih kecil dari A, sehingga entropinya harus kurang dari A/4 [lihat ilustrasi sebelumnya]. Karena entropi tidak mungkin berkurang, seseorang mengambil kesimpulan bahwa distribusi awal materi juga harus kurang dari unit entropi atau informasi A/4. Hasil temuan ini—bahwa kandungan informasi maksimum suatu kawasan ruang ditentukan oleh areanya—bertentangan dengan perkiraan masuk akal bahwa kapasitas suatu kawasan pasti tergantung pada volumenya.
Batas entropi universal menetapkan jumlah informasi yang bisa dimuat oleh massa m berdiameter d. Ini didapat dengan membayangkan bahwa sebuah kapsul materi ditelan oleh black hole yang tidak jauh lebih lebar darinya (b). Penambahan ukuran black hole menempatkan suatu batas pada jumlah entropi yang dapat dikandung kapsul. Batas ini lebih ketat dari batas holografis, kecuali jika kapsul hampir sepadat black hole(dalam kasus ini, dua batas ini menjadi ekuivalen).
Batas informasi holografis dan universal jauh melampaui kapasitas penyimpanan data teknologi mutakhir, dan mereka jauh melampaui densitas informasi pada kromosom dan entropi termodinamika air (c).—J.D.B.
Dalam penelitiannya tentang batas holografis, Susskind mempertimbangkan massa terisolasi yang kurang-lebih bundar yang bukan black hole dan yang masuk ke dalam permukaan area A yang tertutup. Karenanya, entropi black hole adalah lebih kecil dari A/4. Menurut GSL, entropi sistem tidak mungkin berkurang, sehingga entropi awal massa tersebut tidak mungkin lebih besar dari A/4. Disusul, entropi suatu sistem fisikal terisolasi berarea perbatasan A adalah harus kurang dari A/4. Bagaimana jika massa tersebut tidak kolaps secara spontan? Pada tahun 2000, saya menunjukkan bahwa sebuah black hole kecil dapat digunakan untuk mengkonversi sistem menjadi black hole yang tak jauh berbeda dari black hole dalam argumen Susskind. Oleh karena itu, batas ini terbebas dari komposisi sistem atau sifat level X. Ia hanya tergantung kepada GSL.
Sekarang kita bisa menjawab beberapa pertanyaan yang sulit dimengerti mengenai batas tertinggi penyimpanan informasi. Sebuah perangkat berukuran satu centimeter secara prinsip dapat menyimpan sampai 1066 bit—jumlah yang mengejutkan. Alam semesta tampak (visible universe) sekurangnya mengandung 10100bit entropi, yang secara prinsip bisa dikemas dalam sebuah bola berdiameter sepersepuluh tahun-cahaya. Bagaimanapun, mengestimasi entropi alam semesta adalah persoalan sulit, dan keberadaan jumlah yang jauh lebih besar, yang memerlukan bola hampir sebesar alam semesta sendiri, adalah masuk akal sepenuhnya.
Tapi ada aspek batas hologram lain yang betul-betul mengherankan. Yaitu, entropi maksimum potensial tergantung kepada area perbatasan, bukan volume. Bayangkan kita menumpuk chip memori komputer dalam tumpukan besar. Jumlah transistor—kapasitas penyimpanan data total—bertambah seiring volume tumpukan. Sehingga, demikian pula halnya dengan entropi termodinamika total seluruh chip. Yang luar biasa, kapasitas teoritis informasi tertinggi ruang yang ditempati oleh tumpukan hanya bertambah seiring [bertambahnya] area permukaan. Karena volume bertambah secara lebih cepat daripada area permukaan, pada suatu titik entropi seluruh chip akan melampaui batas holografis. Kelihatannya baik GSL ataupun ide logis kita tentang entropi dan kapasitas informasi pasti gagal. Kenyataannya, yang gagal adalah tumpukan itu sendiri: ia akan kolaps akibat gravitasinya sendiri dan membentuk black hole sebelum kebuntuan tercapai. Oleh karena itu, setiap chip memori tambahan akan menambah massa dan area permukaan black hole sampai taraf tertentu sehingga terus mempertahankan GSL.
Alam Semesta yang Tercat pada Perbatasannya
Bisakah kita memberlakukan prinsip holografi pada alam semesta secara keseluruhan? Alam semesta riil adalah sistem 4-D: ia mempunyai volume dan bentangan waktu. Jika fisika alam semesta kita adalah holografi, akan ada seperangkat hukum fisika alternatif, membedah perbatasan ruangwaktu 3-D di suatu tempat, yang ekuivalen dengan fisika 4-D yang kita kenal. Kita masih belum tahu teori 3-D yang bekerja dengan cara demikian. Sebetulnya, permukaan apa yang semestinya kita gunakan sebagai perbatasan alam semesta? Langkah menuju realisasi ide ini adalah mempelajari model-model yang lebih sederhana dari alam semesta riil kita.
Segolongan contoh konkret prinsip kerja holografi melibatkan apa yang disebut ruangwaktu anti-de Sitter. Ruangwaktu de Sitter adalah model alam semesta yang pertama kali diperoleh oleh astronom Belanda, Willem de Sitter, pada 1917 sebagai solusi persamaan Einstein, mencakup gaya repulsif (tolak) yang dikenal sebagai konstanta kosmologis. Ruangwaktu de Sitter adalah hampa, mengembang pada suatu laju akselerasi dan amat sangat simetris. Pada 1997, para astronom yang mempelajari ledakan-ledakan supernova jauh menyimpulkan bahwa alam semesta kita kini mengembang dalam mode mencepat/berakselerasi dan barangkali akan semakin mirip ruangwaktu de Sitter di masa depan. Nah, bila konstanta repulsif kosmologis digantikan oleh gaya tarik, solusi de Sitter berubah menjadi ruangwaktu anti-de Sitter, yang sama-sama memiliki kesimetrian sebanyak itu. Yang lebih penting untuk konsep holografi, ia memiliki perbatasan, yang berlokasi “di ketakterhinggaan” dan sangat mirip ruangwaktu keseharian kita.
Menggunakan ruangwaktu anti-de Sitter, para teoris memikirkan contoh konkret prinsip kerja holografi: alam semesta yang menurut teori superstring berfungsi di ruangwaktu anti-de Sitter adalah ekuivalen sepenuhnya dengan teori medan quantum yang membedah perbatasan ruangwaktu tersebut [lihat ilustrasi]. Dengan demikian, kekuasaan penuh teori superstring di alam semesta anti-de Sitter tercat pada perbatasan alam semesta tersebut. Juan Maldacena, kala itu di Universitas Harvard, pertama kali memperkirakan hubungan semacam itu pada 1997 untuk kasus anti-de Sitter 5-D, dan itu kemudian dikonfirmasi untuk banyak situasi oleh Edward Witten dari Institute for Advanced Study di Princeton, N.J., dan Steven S. Gubser, Igor R. Klebanov, dan Alexander M. Polyakov dari Universitas Princeton. Contoh-contoh persesuaian holografis ini sekarang dikenal atas ruangwaktunya yang mempunyai beragam dimensi.
Hasil temuan ini mengandung arti bahwa dua teori yang seolah-olah sangat berbeda—sekalipun bertindak di ruang berdimensi sama—adalah ekuivalen. Makhluk-makhluk yang hidup di salah satu alam semesta ini tidak akan mampu menetapkan apakah mereka menghuni alam semesta 5-D yang digambarkan oleh teori string atau alam semesta 4-D yang digambarkan oleh teori medan quantum partikel-partikel point (titik/dasar). (Tentu saja, struktur otak mereka bisa memberi mereka banyak praduga “masuk akal” untuk memperkuat deskripsi yang satu atau lainnya, membentuk rintangan sehingga otak kita mengkonstruksi persepsi lahiriah bahwa alam semesta kita mempunyai tiga dimensi ruang; lihat ilustrasi.)
Keekuivalenan holografis bisa memungkinkan penukaran kalkulasi sulit di ruangwaktu perbatasan 4-D, seperti perilaku quark dan gluon, dengan kalkulasi mudah di ruangwaktu anti-de Sitter 5-D yang sangat simetris. Persesuaian juga bekerja dengan cara lain. Witten telah menunjukkan bahwa sebuah black hole di ruangwaktu anti-de Sitter bersesuaian dengan radiasi panas dalam fisika alternatif yang membedah ruangwaktu berbatas. Entropi lubang tersebut—sebuah konsep yang sangat misterius—sama dengan entropi radiasi, yang mana sungguh biasa.
Alam Semesta yang Mengembang
Sangat simetris dan hampa, alam semesta anti-de Sitter 5-D hampir tidak seperti alam semesta kita yang eksis di 4-D, berisi materi dan radiasi, dan dipenuhi peristiwa-peristiwa keras. Sekalipun kita menaksir alam semesta riil kita dengan alam semesta yang materi dan radiasinya tersebar secara seragam, kita tidak mendapatkan alam semesta anti-de Sitter, melainkan alam semesta “Friedmann-Robertson-Walker” (FRW). Sebagian besar kosmolog hari ini setuju bahwa alam semesta kita menyerupai alam semesta FRW, alam semesta yang tak terhingga, tidak memiliki perbatasan dan akan terus mengembang tanpa henti.
Apakah alam semesta semacam itu memenuhi prinsip holografi atau batas holografis? Argumen Susskind yang didasarkan pada kekolapsan menjadi black hole tidaklah membantu di sini. Tentu saja, batas holografis yang disimpulkan dari black hole pasti runtuh di alam semesta seragam yang mengembang. Entropi sebuah kawasan yang secara seragam berisi materi dan radiasi adalah betul-betul proporsional dengan volumenya. Karenanya, kawasan yang cukup besar akan melanggar batas holografis.
Pada 1999, Raphael Busso, kala itu di Stanford, mengajukan modifikasi batas holografis (modified holographic bound), yang sejak saat itu telah ditemukan berfungsi sekalipun dalam situasi di mana batas yang kita bahas sebelumnya tidak dapat diterapkan. Rumusan Busso dimulai dengan permukaan 2-D yang cocok; ia bisa tertutup seperti bola atau terbuka seperti sehelai kertas. Seseorang lantas membayangkan ledakan singkat cahaya yang keluar secara simultan dan perpendikuler (tegak lurus) dari satu sisi permukaan tersebut. Satu-satunya tuntutan adalah bahwa, sebagai permulaan, sinar-sinar cahaya imajiner itu harus berkonvergensi. Cahaya yang dipancarkan dari permukaan dalam (inner surface) cangkang bundar, misalnya, memenuhi persyaratan itu. Seseorang lalu mempertimbangkan entropi materi dan radiasi yang dilewati sinar-sinar imajiner ini, sampai pada poin di mana mereka mulai melintas. Busso menerka bahwa entropi ini tidak boleh melampaui entropi yang diwakili oleh permukaan awal—seperempat areanya, diukur menurut area Planck. Ini adalah cara penyesuaian entropi yang berbeda ketimbang yang dipakai dalam batas holografis. Batas Busso tidak merujuk kepada entropi sebuah kawasan pada suatu waktu, tapi lebih kepada jumlah entropi lokal di berbagai waktu: mereka yang “diterangi” oleh ledakan cahaya dari permukaan.
Batas Busso memasukkan batas-batas entropi lain seraya menghindari pembatasan mereka. Batas entropi universal maupun bentuk batas holografis ‘t Hooft-Susskind dapat disimpulkan dari batas Busso untuk sistem terisolasi yang tidak berkembang cepat dan yang medan gravitasinya tidak kuat. Manakala syarat-syarat ini terlanggar—seperti untuk bola materi kolaps yang berada di dalam black hole—batas-batas ini [batas entropi universal dan batas holografis ‘t Hooft-Susskind] pada akhirnya gagal, sedangkan batas Busso terus bertahan. Busso juga telah menunjukkan bahwa strateginya bisa dipakai untuk menemukan permukaan-permukaan 2-D yang di atasnya hologram dunia dapat diset.
Peramal Revolusi
Para periset telah mengajukan banyak batas entropi lain. Perkembangbiakan variasi motif holografi memperjelas bahwa subjek ini masih belum mencapai status hukum fisika. Tapi walaupun cara pikir holografi belum sepenuhnya dimengerti, kelihatannya ia ada untuk tinggal. Dan dengan datangnya ia, keyakinan fundamental, yang mendominasi selama 50 tahun, bahwa teori medan adalah bahasa tertinggi fisika, harus memberi jalan. Medan, seperti medan elektromagnetik, terus-menerus berubah dari titik ke titik, dan dengan demikian mereka menggambarkan ketakterhinggaan derajat kebebasan. Teori superstring juga merangkul jumlah derajat kebebasan yang tak terhingga. Holografi membatasi jumlah derajat kebebasan yang dapat ada di dalam suatu permukaan berbatas ke jumlah terhingga; teori medan dengan ketakterhinggaannya tidak dapat menjadi teori final. Lagipula, sekalipun ketakterhinggaan dijinakkan, misteri ketergantungan informasi terhadap area permukaan harus dipecahkan.
Holografi mungkin bisa menjadi penuntun menuju teori yang lebih baik. Seperti apakah teori fundamental? Rantai pemikiran yang melibatkan holografi, bagi beberapa orang, khususnya Lee Smolin dari Perimeter Institute for Theoretical Physics di Waterloo, Ontario, menyatakan bahwa teori final tidak harus menyangkut medan, pun tidak ruangwaktu, tapi lebih menyangkut pertukaran informasi di antara proses-proses fisikal. Bila demikian, pandangan tentang informasi sebagai penyusun dunia akan menemukan pengejawantahan yang layak.
Penulis
Jacob D. Bekenstein telah berkontribusi terhadap fondasi termodinamika black hole dan aspek lain dalam hubungan antara informasi dan gravitasi. Dia adalah Polak Professor Theoretical Physics di Universitas Hebrew Yerusalem, anggota Israel Academy of Sciences and Humanities, dan penerima penghargaan Rothschild dan Israel. Bekenstein mendedikasikan artikel ini kepada john Archibald Wheeler (pembimbing Ph.D.-nya 30 tahun silam). Wheeler termasuk ke dalam generasi ketiga mahasiswa Ludwig Boltzmann; pembimbing Ph.D. Wheeler, Karl Herzfeld, adalah mahasiswa dari Friedrich Hasenöhrl (seorang mahasiswa Boltzmann).
Untuk Digali Lebih Jauh
- Black Hole Thermodynamics. Jacob D. Bekenstein dalam Physics Today, Vol. 33, No. 1, hal. 24–31; Januari 1980.
- Black Holes and Time Warps: Einstein’s Outrageous Legacy. Kip S. Thorne. W. W. Norton, 1995.
- Black Holes and the Information Paradox. Leonard Susskind dalam Scientific American, Vol. 276, No. 4, hal. 52–57; April 1997.
- Three Roads to Quantum Gravity. Lee Smolin. Basic Books, 2002.
- An Introduction to Black Holes, Information and the String Theory Revolution: The Holographic Universe. Leonard Susskind dan James Lindesay. World Scientific Publishing, 2005.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar