Pada tanggal 27 Oktober 2016 yang lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Revisi tersebut pun langsung berlaku tiga puluh hari setelah kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal 28 November 2016 kemarin.
Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Semuel A. Pangerapan, revisi UU ITE ini telah mendapat banyak masukan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, dan para praktisi. Dengan perubahan tersebut, pemerintah berharap UU ITE ini tidak lagi digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang tidak bersalah.
Berikut ini adalah empat hal yang berubah dari UU ITE setelah mengalami revisi di tahun 2016 ini.
Penurunan hukuman dan tidak ada penahanan
Dalam revisi UU ITE kali ini, pemerintah menurunkan ancaman hukuman untuk para terdakwa. Untuk kasus pencemaran nama baik, hukuman penjara diturunkan dari enam tahun menjadi empat tahun, dan hukuman denda pun diturunkan dari Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
Adapun untuk kasus ancaman kekerasan di dunia maya, pemerintah menurunkan ancaman hukuman penjara yang semula 12 tahun menjadi hanya empat tahun. Selain itu hukuman denda pun turun dari Rp2 miliar menjadi Rp750 juta.
Berkat perubahan ini, kasus pencemaran nama baik dan ancaman kekerasan di internet kini masuk ke dalam kategori tindak pidana ringan dengan ancaman penjara kurang dari lima tahun menurut pasal 21 KUHAP. Ini artinya, sang tersangka tidak boleh ditahan selama proses penyidikan.
Hak untuk dilupakan
Semua berita yang ada di internet, baik itu fakta maupun berita bohong, tidak akan hilang kecuali apabila berita tersebut dihapus oleh penyedia layanan yang terkait. Oleh karena itu, pada Pasal 26 UU ITE kini menambahkan aturan tentang hak untuk dilupakan (right to be forgotten).
Dengan aturan baru ini, seorang yang telah menyelesaikan sebuah masalah di masa lalu atau tidak terbukti bersalah oleh pengadilan, berhak untuk mengajukan penghapusan terkait informasi salah yang telah beredar di internet.
Henri Subiakto, Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyatakan kalau pemerintah saat ini tengah menyiapkan aturan tambahan tentang hak untuk dilupakan ini dalam sebuah peraturan pemerintah.
Penghapusan informasi yang melanggar undang-undang
Lewat Pasal 40 UU ITE, pemerintah telah menambah ayat baru yang menyatakan kalau pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang menyebarkan informasi pornografi, SARA, terorisme, hingga pencemaran nama baik.
Apabila ada perdebatan mengenai suatu konten yang dipublikasikan melalui media apakah melanggar undang-undang atau tidak, pemerintah akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Jika situs yang menyediakan informasi tak baik tersebut tidak berbadan hukum, pemerintah pun punya kewenangan untuk memblokir situs tersebut.
Penyadapan harus dengan izin kepolisian atau kejaksaan
Revisi UU ITE kali ini juga memasukkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan kalau dokumen elektronik hasil penyadapan merupakan alat bukti yang sah, asalkan dilakukan atas permintaan kepolisian atau kejaksaan. Hal ini kini tercantum dalam Pasal 5 UU ITE.
(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar