Founder: Satrio Rama Widyowicaksono, Pandu Satrio Nugroho, Ryan Gulfa Wijaya, dan Richard Max Gustav Schulz.
Industri: co-living space
Status pendanaan: pendanaan tahap awal sebesar US$400 ribu (sekitar Rp5,4 miliar) dari angel investor
Industri: co-living space
Status pendanaan: pendanaan tahap awal sebesar US$400 ribu (sekitar Rp5,4 miliar) dari angel investor
- Co-living space serupa dengan apartemen atau kamar kos, namun khusus ditujukan untuk para pengusaha dan founder startup.
- Di co-living space kamu bisa menyelenggarakan event dan berkolaborasi dengan penghuni lain di ruang kerja bersama.
- Co-living space mendapat pemasukan tambahan dari menyediakan kebutuhan para penghuni, seperti makan dan laundry.
Selama beberapa tahun terakhir, dunia startup tanah air telah diramaikan dengan kemunculan banyaknya co-working space, mulai dari EV Hive, Freeware Spaces, Cre8, Kolega, hingga Kumpul. Tak hanya para pemain lokal, startup co-working space raksasa dari luar Indonesia pun turut masuk ke tanah air, seperti WeWork yang mengakuisisi Spacemob, serta UrWork yang memberikan investasi kepada co-working space tanah air ReWork.
Para co-working space tersebut mempunyai model bisnis yang relatif serupa. Mereka berusaha membangun komunitas dengan menyewakan lokasi kerja bagi para pelaku startup dan freelancer, serta menyelenggarakan event.
Namun ternyata, tak semua pihak setuju bahwa co-working space merupakan solusi terbaik untuk mendorong perkembangan ekosistem startup. Contohnya Satrio Rama Widyowicaksono, mantan Management Trainee di Danone Aqua dan Investment Analyst di Fenox VC, yang mempunyai pendapat berbeda.
Menurut Rama, co-working space yang ada saat ini tidak bisa mengatasi masalah yang sebenarnya juga dihadapi para founder startup, yaitu kebutuhan akan tempat tinggal yang harganya kini semakin mahal. Selain itu, jauhnya lokasi kerja dan kemacetan membuat waktu mereka menjadi tidak efisien.
“Kolaborasi yang baik antar pelaku di dunia startup hanya bisa dicapai dengan co-living space. Dengan begitu, para penghuni bisa saling terhubung secara terus menerus. Kebutuhan mereka untuk urusan pribadi dan pengembangan diri pun bisa menjadi pemasukan bagi penyedia co-living space,” tutur Rama kepada Tech in Asia Indonesia.
Itulah yang kemudian mendorong Rama dan beberapa rekannya yang lain untuk mendirikan startup co-living space bernama LIVE. Untuk saat ini, startup tersebut masih bernaung di bahwa sebuah induk perusahaan yang bernama The Palapa Group.
Kamar kos dengan berbagai fasilitas tambahan
Co-living space sendiri merupakan konsep tempat tinggal seperti apartemen atau kamar kos, yang ditujukan untuk para pengusaha dan founder startup. Di dalamnya ada sebuah ruang kerja bersama yang bisa digunakan para penghuni untuk bekerja, serta berkolaborasi dengan penghuni lain.
Layaknya co-working space, penyedia layanan co-living space pun biasanya menghadirkan event yang bisa menambah pengetahuan dari para penghuninya. Berbagai fasilitas tersebut membuat biaya sewa co-living space biasanya lebih mahal dibanding apartemen atau kamar kos biasa.
Konsep bisnis seperti ini pun telah muncul di negara lain, seperti KoHub di Thailand, CoHo di India, serta The Student Hotel di Eropa. Startup co-working space asal Amerika Serikat yang telah mendapat predikat unicorn, WeWork, bahkan telah menjalankan bisnis co-living space dengan nama WeLive.
“Berbeda dengan co-working space yang hanya bisa mendapat keuntungan dari penyewaan tempat, co-living space justru bisa mendapat pemasukan tambahan dari menyediakan kebutuhan para penghuni, seperti makan dan laundry,” jelas Rama.
Untuk mendirikan LIVE, Rama dibantu oleh tiga orang temannya. Yang pertama adalah Pandu Satrio Nugroho, mantan karyawan Sampoerna yang kini menempati posisi sebagai Chief Business Development Officer (CBDO). Selain itu ada Ryan Gulfa Wijaya yang menjadi Chief Operating & Marketing Officer, setelah sebelumnya berkarier di Nielsen dan Djarum. Dan yang terakhir ada Richard Max Gustav Schulz, Chief Finance Officer yang sempat bekerja di perusahaan konsultan Ernst & Young.
Mereka berempat merupakan teman satu angkatan ketika masih sama-sama menjalani pendidikan di SMAN 8 Jakarta.
Telah bangun lokasi pertama di Jatinangor
Menurut Rama, agar bisa memberikan nilai tambah yang optimal bagi penghuninya, sebuah co-living space harus diisi oleh beragam jenis penghuni. Di dalamnya harus ada founder startup, investor, serta pekerja profesional dan pelajar yang berpotensi untuk menjadi karyawan atau mitra dari sebuah startup.
“Hal ini membuat konsep yang kami usung lebih dekat dengan The Student Hotel, berbeda dengan KoHub dan WeLive yang cenderung hanya diperuntukkan untuk para founder startup. Menurut kami, sebuah co-living space idealnya harus diisi oleh tiga puluh persen founder startup dan investor, empat puluh persen pekerja profesional, dan tiga puluh persen pelajar,” tutur Rama.
Sejak didirikan pada tahun 2015 yang lalu, LIVE telah mendapat pendanaan tahap awal sebesar US$400 ribu (sekitar Rp5,4 miliar) dari angel investor. Dana segar tersebut pun telah mereka gunakan untuk mendirikan sebuah pilot project bernama Panorama Residence, yang berlokasi di daerah Jatinangor. Untuk mengelola tempat tersebut, mereka menempatkan sekitar dua belas orang pengurus.
Sayangnya, untuk pilot project ini, mereka hanya bisa mendapat penghuni yang merupakan pelajar. Hal ini dikarenakan Jatinangor memang belum mempunyai ekosistem startup dan industri yang berkembang.
“Namun kami telah coba membuat beberapa aktivitas seperti diskusi grup, dan hasilnya cukup baik. Para penghuni bisa merasakan manfaatnya. Di sisi lain, kami pun bisa mengerti dinamika dan cara mengelola sebuah tempat tinggal,” jelas Rama.
Panorama Residence sendiri mempunyai 46 kamar, yang seluruhnya telah diisi oleh para penghuni, baik pria maupun wanita.
Siap hadirkan co-living space di dua kota besar
Ke depannya, Rama mengaku kalau ia berniat menghadirkan konsep co-living space di dua kota besar. Untuk itu, saat ini ia tengah berusaha mencari pendanaan Seri A.
Meski tidak menyebutkan kota mana yang ingin ia sasar, namun Rama menegaskan kalau kota tersebut harus mempunyai potensi kewirausahaan yang baik. Lokasinya pun harus dekat dengan kampus, perkantoran, dan tempat berkumpul para founder startup.
Startup co-working space tanah air seperti EV Hive, sebenarnya telah melirik bisnis co-living space tersebut. Namun menurut Rama, ia yakin LIVE akan bisa bersaing dalam hal harga, lokasi, hingga aktivitas yang disediakan. Menarik untuk ditunggu bagaimana perkembangan bisnis ini di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar