Sejak tahun 2015 silam, Bank Indonesia (BI) terkesan begitu selektif dalam memberikan lisensi uang elektronik, alias e-money. Bank sentral di tanah air tersebut hanya memberikan izin kepada masing-masing satu perusahaan di tahun 2015 dan 2016, yaitu untuk Witami Tunai Mandiri (True Money) dan Espay.
Pada tahun 2017 ini, kembali ada satu perusahaan yang mendapatkan lisensi e-money, yaitu Bank QNB Indonesia. Mereka mendapatkan lisensi tersebut pada tanggal 13 Februari 2017, dan resmi beroperasi dengan produk bernama DooEt pada tanggal 1 Maret 2017.
“Proses mendapatkan lisensi tersebut sendiri cukup lama, yaitu lebih dari satu tahun. Namun karena kami telah memenuhi semua persyaratan, prosesnya jadi cukup mudah,” tutur R. Andi Kartiko Utomo, Head of E-Banking & Non Traditional Channel Bank QNB Indonesia, kepada Tech in Asia Indonesia.
Andi mengakui kalau bisnis e-money ini masih sangat baru. Oleh karena itu, wajar kalau BI sebagai regulator tampak berhati-hati dalam memberikan lisensi, karena mereka harus memikirkan apakah perusahaan yang telah mendapat lisensi nantinya bisa terus bertahan dan mendapat keuntungan atau tidak.
“Dari hasil diskusi saya dengan rekan-rekan pemain e-money, butuh waktu paling tidak lima tahun bagi para penyedia layanan untuk bisa mencapai break-even point,” jelas Andi.
Mengingat saat ini sudah banyak perusahaan yang juga menghadirkan produk serupa, mulai dari bank besar, perusahaan telekomunikasi, hingga startup seperti GO-JEK dan Doku, bagaimana strategi Bank QNB agar bisa memenangkan persaingan setelah mendapat lisensi?
Semua sama-sama baru mulai mengembangkan e-money
Andi menceritakan kalau inisiatif untuk membuat layanan e-money bernama DooEt, yang kemudian digabungkan dengan layanan mobile banking DooEt+, sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun yang lalu. Namun mereka memang baru melakukan pengembangan secara intensif dalam setahun terakhir.
Ide tersebut murni datang dari Bank QNB Indonesia, dan mendapat dukungan penuh dari pemegang saham terbesar mereka, yaitu Qatar National Bank (QNB). QNB sendiri memang telah membuat layanan digital di berbagai negara di mana mereka beroperasi, namun dalam bentuk yang berbeda dengan DooEt dan DooEt+.
Kesadaran untuk membuat produk e-money berawal dari keinginan Bank QNB Indonesia untuk bersaing dengan bank-bank besar lainnya, seperti BCA, BRI, dan Bank Mandiri.
“Kami sadar kalau kami tidak bisa menggunakan cara-cara konvensional seperti dengan memperbanyak jumlah kantor cabang dan ATM. Selain karena membutuhkan dana yang besar, kami pun sudah jauh tertinggal dari para bank besar tersebut dalam jumlah kantor cabang dan ATM,” tutur Andi.
Itulah mengapa Bank QNB Indonesia kemudian melirik teknologi e-money. Selain karena penetrasi smartphone yang meningkat, Bank QNB Indonesia merasa kalau belum ada pihak yang benar-benar sukses mengembangkan teknologi baru tersebut, baik di dalam maupun di luar negeri.
“Bisa dibilang semua masih meraba-raba. Karena semua start dengan posisi yang sama, diharapkan Bank QNB Indonesia punya kesempatan untuk memenangkan persaingan.”
Strategi yang lebih agresif dibanding bank lain
Sebelum bergabung dengan Bank QNB Indonesia, Andi telah mempunyai pengalaman di beberapa perusahaan teknologi, mulai dari Samsung, BlackBerry, hingga Telkomsel. Dan menurutnya, ada dua hal yang bisa mendorong pertumbuhan DooEt, yaitu user experience yang baik, dan banyaknya jenis transaksi yang bisa kamu lakukan dengan produk e-money tersebut.
Untuk membuat aplikasi dengan user experience yang baik, Bank QNB Indonesia mengandalkan sekitar dua puluh developer lokal di Bandung. Meski enggan menyebut dana investasi yang dikeluarkan, namun Andi menyatakan kalau biaya yang ia keluarkan saat ini semakin murah seiring dengan perkembangan teknologi.
Sedangkan untuk memperbanyak jenis transaksi yang bisa dilakukan, Bank QNB Indonesia pun telah memungkinkan pengguna mereka untuk membeli tiket kereta api, tiket pesawat Citilink, hingga menghadirkan loyalty app bagi beberapa mal, seperti Cinere Mall dan Bellevue Cinere. Selain itu, mereka juga telah bekerja sama dengan 412 merchant yang semuanya memungkinkan konsumen untuk berbelanja dengan produk e-money DooEt.
“Untuk mendorong penggunaannya, kami pun menghadirkan promosi atau diskon, namun dengan cara yang lebih cermat. Kami akan menghabiskan lebih banyak dana promosi di tempat-tempat yang memungkinkan kami mendapat banyak pengguna,” jelas Andi.
Menurut Andi, tujuan utama Bank QNB Indonesia ketika membuat produk e-money DooEt ini adalah sebagai sarana untuk mendapat nasabah baru. Hal ini berbeda dengan bank besar lain yang justru menghadirkan e-money hanya sebagai layanan tambahan. Perbedaan ini pun membuat Bank QNB Indonesia cenderung lebih agresif dalam memasarkan produk e-money mereka.
“Saat ini, kami telah mempunyai 55.000 pengguna. Dan kami berharap bisa mencapai angka satu juta pengguna di akhir tahun 2017,” tutur Andi.
Ke depannya, Andi berharap para pengguna e-money bisa dikonversi menjadi nasabah tabungan dan deposito. Bank QNB Indonesia pun tengah mengembangkan produk kredit tanpa agunan digital, yang nantinya bisa ditawarkan kepada para nasabah tersebut.
Siap berkolaborasi dengan startup fintech
Terkait perkembangan startup fintech yang cukup pesat dalam beberapa bulan terakhir, Andi menyatakan kalau dirinya tidak menutup mata terhadap fenomena tersebut. Menurutnya, Bank QNB Indonesia saat ini telah menjalin diskusi dengan beberapa startup fintech, meski belum meresmikannya dalam bentuk kerja sama. Mereka bahkan telah tergabung dalam Asosiasi Fintech Indonesia.
“Menurut saya, bank dan startup fintech bagaikan kakak dan adik yang bisa saling merangkul, serta berkembang bersama. Contohnya apabila ada nasabah yang tidak bisa dilayani oleh bank, maka mereka bisa disalurkan ke startup fintech. Demikian juga sebaliknya,” ujar Andi.
Menurutnya, Bank QNB Indonesia dan bank-bank lain pun tengah mengamati perkembangan teknologi blockchain. Menurutnya, teknologi tersebut sangat menarik, dan para bank masih sama-sama mempelajari bagaimana cara menerapakan teknologi tersebut di dunia perbankan.
“Masyarakat kini telah berubah, dan mau tidak mau, bank juga harus berubah. Namun harus diingat kalau bank juga tidak bisa begitu saja meninggalkan sistem konvensional yang telah dijalankan selama bertahun-tahun.”
(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar