Artikel ini disponsori oleh:
Bisa dibilang, berbagai aspek dalam hidup di zaman sekarang ini sangat bergantung pada berbagai aplikasi mobile yang menawarkan berbagai kemudahan. Direktur Regional INSEA App Annie Jaede Tan dalam helatan Decode Jakarta beberapa waktu lalu mengatakan bila kondisi ini telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia.
“Aplikasi yang digunakan untuk berbelanja, perbankan, traveling, dan layanan lainnya yang menyangkut keperluan sehari-hari bagi banyak orang, mengalami peningkatan yang cukup signifikan, baik dari waktu yang dihabiskan untuk mengakses aplikasi maupun dari segi kebutuhan akan layanan-layanan tadi.”
Ketergantungan orang terhadap aplikasi mobile rupanya membawa keuntungan yang tidak sedikit. Bahkan, Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu “lahan subur” untuk berkembangnya app economy.
App economy adalah perekonomian berbasis aplikasi yang kini mulai berkembang, seiring dengan pertumbuhan aplikasi mobile yang semakin pesat.
Beberapa contoh app economy adalah, penggunaan aplikasi e-commerce untuk berbelanja. Bahkan, data dari App Annie menyebutkan bahwa Tokopedia menduduki peringkat pertama aplikasi belanja yang digunakan di Indonesia. Selain itu, keuntungan yang diperoleh dari iklan maupun in-app purchase pada game, juga termasuk contoh lain dari app economy.
Seberapa besar keuntungan yang didapat di ranah mobile?
Pada tahun 2016, penerbit aplikasi mendapatkan keuntungan lebih dari US$35 miliar (sekitar Rp466 triliun) hanya dari App Store dan Google Playstore.
Angka tersebut belum termasuk keuntungan dari platform aplikasi Android pihak ketiga dan keuntungan dari iklan mobile. Jika dijumlahkan, total penghasilan para penerbit aplikasi di seluruh dunia menyentuh angka US$89 miliar (sekitar Rp1,2 kuadriliun).
Indonesia sendiri ikut mengalami peningkatan dalam tren app economy ini. Menurut Jaede, rata-rata orang Indonesia mengunduh 39 aplikasi per bulan per perangkat. Tercatat ada 66 juta perangkat di Indonesia, dan total sembilan miliar aplikasi yang telah diunduh.
Total keuntungan yang didapat dari Google Play Store dan App Store bahkan mencapai US$150 juta (sekitar Rp2 triliun) atau meningkat sebesar 72 persen dibanding tahun 2014.
Rata-rata orang Indonesia mengunduh 39 aplikasi per bulan per perangkat. Tercatat ada 66 juta perangkat di Indonesia, dan total sembilan miliar aplikasi yang telah diunduh.
Selain itu, jumlah unduhan aplikasi di Indonesia pada tahun 2014 hingga 2016 mengalami peningkatan sebesar 101 persen, dan 105 persen peningkatan pada jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengakses aplikasi.
Tidak hanya penerbit aplikasi saja yang kebanjiran untung. Bisnis lain pun merasakan hal yang sama. Salah satunya adalah gerai kopi terkenal asal Amerika Serikat, Starbucks. Sebanyak delapan persen total transaksi dari dua puluh gerai terpadat mereka, ternyata didapatkan dari aplikasi mobile Starbucks.
Chatting dan media sosial di sebagian besar waktu
Berdasarkan data dari App Annie, ternyata orang Indonesia menghabiskan setengah dari waktu mereka untuk berkomunikasi melalui aplikasi, baik chatting, maupun melalui media sosial.
Saking gandrungnya “bersosialisasi” di dunia maya, rata-rata orang Indonesia memiliki setidaknya tiga hingga empat aplikasi untuk berkomunikasi di perangkat mereka. Fenomena ini yang jarang ditemui pada pengguna mobile di negara lainnya
Menurut Prashant Choudhary, Head of Sales regional Asia Tenggara untuk Inmobi, hal ini membuat Indonesia sedikit berbeda dibandingkan negara-negara lainnya di Asia Tenggara. “Rata-rata orang Indonesia memiliki setidaknya tiga hingga empat aplikasi untuk berkomunikasi di perangkat mereka. Fenomena yang jarang ditemui pada pengguna mobile di negara lainnya,” tuturnya.
Rata-rata orang Indonesia memiliki setidaknya tiga hingga empat aplikasi untuk berkomunikasi di perangkat mereka. Fenomena yang jarang ditemui pada pengguna mobile di negara lainnya.
Berdasarkan data terakhir yang dihimpun oleh BBM, aplikasi chatting ini memiliki 65 juta pengguna bulanan aktif per Februari 2017 di Indonesia.
“Kami melihat angka tersebut terus meningkat seiring dengan meningkatnya adopsi smartphone. Kebanyakan, jumlah tersebut didapat dari smartphone kelas menengah dan kelas bawah,” ujar KD Baruah, Vice President regional Asia Pasifik dari BBM.
Menurut KD, tingginya penggunaan aplikasi media sosial maupun chatting juga berpengaruh pada perilaku orang Indonesia dalam mengonsumsi konten. Yaitu, orang cenderung suka membagikan konten dan menikmati konten yang didapat dari sharing teman-teman di media sosial.
Hal tersebut mungkin bisa dijadikan salah satu acuan kamu dalam menentukan strategi pemasaran pada perangkat mobile. Misalnya, dengan menciptakan konten yang shareable atau menarik dan mudah untuk dibagikan di berbagai media, atau menambah eksistensi merek di kanal lainnya.
Miliaran menit untuk hiburan
Selain chatting, konsumsi konten hiburan juga semakin populer di Indonesia. Sebanyak 31 miliar menit setiap bulannya dihabiskan orang Indonesia untuk mengakses aplikasi musik, video, dan berita.
Konsumsi video di Indonesia pun terbilang cukup besar dan tengah populer di Indonesia. “Banyak konten hiburan yang bisa dinikmati melalui perangkat mobile selain televisi. Sehingga, banyak juga aplikasi penyedia layanan streaming video yang berinvestasi di ranah ini,” ujar Prashant.
Tidak berhenti sampai jumlah download saja
Menurut Jaede, dari sekian banyak aplikasi yang diunduh, setidaknya 72 persen aplikasi sudah dihapus atau tidak pernah digunakan lagi.
Tidak cukup hanya membuat orang tertarik untuk mengunduh sebuah aplikasi. Para penerbit aplikasi perlu memikirkan bagaimana caranya menciptakan engagement yang baik untuk pengguna. Sehingga, pengguna merasa betah dan terus membutuhkan sebuah aplikasi.
Karena, semakin banyak waktu yang dihabiskan orang dalam sebuah aplikasi, akan semakin banyak juga keuntungan yang bisa dihasilkan penerbit aplikasi tersebut.
Di samping mempertahankan pengguna, menentukan lifetime value dan membuat strategi monetisasi juga perlu diperhatikan.
Meskipun Indonesia sudah mulai menunjukkan pertumbuhan positif di ranah app economy, namun serangkaian usaha edukasi masih diperlukan untuk semakin mematangkan Indonesia dalam menghadapi tren ini.
Bukan hanya dari segi penerbit aplikasi atau konsumen saja yang perlu disiapkan, namun dari merek-merek yang belum berani beriklan atau masuk ke ranah mobile.
Prashant menekankan, apabila edukasi dan persiapan tersebut terlaksana dengan baik, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan menjadi salah satu negara yang terdepan di ranah mobile dan app economy.
“Bangun kepercayaan untuk merek dengan memberikan edukasi mengenai pemasaran mobile yang lebih efektif dan tepat sasaran. Berikan juga transparansi terhadap hasil dari sebuah strategi pemasaran,” ujar Prashant.
Apabila edukasi dan persiapan tersebut terlaksana dengan baik, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan menjadi salah satu negara yang terdepan dalam ranah mobile dan app economy.
(Diedit oleh Pradipta Nugrahanto dan Septa Mellina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar