Manusia tidak pernah diam. Bahkan saat tidur pun, sesungguhnya kita bergerak. Fakta ini mungkin terabaikan, karena relatif terhadap lingkungannya manusia bisa tampak diam. Namun ingatlah, bumi itu senantiasa berputar. Lalu, bumi juga mengelilingi matahari.
Lebih gila lagi, ini mungkin jarang dibayangkan oleh kebanyakan orang, matahari itu juga bergerak. Ia bergerak, bersama seluruh tata surya, ke atas (relatif terhadap lempengan Bimasakti).
Secara ilmiah, menurut buku Guide to the Galaxy, terbitan Cambridge University Press, matahari bergerak menuju konstelasi Lambda Herculis dengan kecepatan 20 kilometer per detik. Relatif terhadap lempeng Bimasakti, gerakannya adalah 7 kilometer per detik. Kenapa berbeda, karena Bimasakti kan bergerak juga.
Gerakan naik itu tidak akan berlaku selamanya. Gravitasi dari Bimasakti memperlambat laju matahari. Frank Bash, seorang astronom, memperkirakan dalam 14 juta tahun matahari akan mencapai posisi tertinggi, 250 tahun cahaya “di atas” Bimasakti sebelum ditarik balik “ke bawah”.
Nah, gerakan matahari belum selesai di situ. Masih ada satu gerakan lagi, yaitu berputar mengelilingi pusat galaksi. Ini adalah gerakan dengan kecepatan 200 kilometer per detik, satu siklusnya membutuhkan waktu 240 juta tahun.
Jadi, intinya, manusia tidak pernah diam. Manusia adalah bagian dari gerakan supercepat yang meliputi seluruh semesta. Semesta tidak pernah diam.
Lalu kenapa? Buat apa susah-payah membanjiri tulisan ini dengan fakta-fakta gerakan semesta? Apa gunanya?
Pertama, ini adalah ajakan. Yuk, kita sadari bersama bahwa gerakan adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita.
Kedua, jika kita memang ditakdirkan untuk bergerak (dan selalu bergerak), maka ke arah mana gerakan ini sebaiknya diarahkan? Yuk, kita renungkan.
Gerak cepat di ruang kosong
Ketika kita bergerak, tentu paling enak adalah jika tahu arahnya mau ke mana. Seorang pengemudi, pasti ingin melihat jalan yang akan dilaluinya. Lebih baik lagi jika ia bisa tahu akan ke mana rutenya, beloknya di mana, mampirnya di mana. Bayangkan kalau Rio Haryanto, misalnya, mengemudi di sirkuit F1 dengan mata tertutup.
Perjalanan hidup, pendidikan, karir dan mungkin juga percintaan, adalah lika-liku yang bagi banyak orang sudah terlihat jelas jalurnya. Kebanyakan remaja mungkin berpikir: pacaran, kalau langgeng bisa sampai tunangan, nikah, punya anak. Atau, seperti sebuah lagu Slank: kecil bersuka, muda terkenal, tua kaya-raya, mati masuk surga!
Demikian juga saat bekerja. Umumnya, jalurnya sudah jelas. Ada hal yang disebut career path, semacam tangga-tangga yang bisa dilalui. Sebuah jalur yang jelas, yang sudah disusun dan siap untuk dilalui bagi mereka yang mau (atau mampu).
Tapi hal yang berbeda saat terjun ke dunia startup. Apalagi buat yang terbiasa menerima gaji dan menjalani career path di perusahaan.
Maka ada benarnya jika orang mengibaratkan startup sebagai roket. Bayangkan pesawat luar angkasa, dalam misi menjelajah semesta raya. Jangan dikira lepas dari Bumi dan Bulan ia akan langsung bertemu Mars. Semesta itu luas dan ruang kosong di antara benda-bendanya itu bisa jadi sesuatu yang tak terbayangkan.
Memulai sebuah startup pun kadang bagai menatap ruang kosong. Tak ada jalur yang sudah dibabat, tak ada papan penunjuk arah. Jika sebelumnya sudah terbiasa dengan kepastian pemasukan di akhir bulan, kini tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan.
Bagaimana jika tiba-tiba semuanya terhenti? Dunia digital bisa cepat sekali berubah, seakan hanya sekejap mata saja semuanya sudah berbeda lagi. Lalu, apa yang bisa jadi pegangan?
Menatap ruang kosong, yang bagaikan tanpa ujung itu, jelas menakutkan. Pantas saja banyak yang berkata, dunia startup itu bukan untuk semua orang. Tidak semua bisa jadi entrepreneur.
Dan seberapapun banyaknya tim, support system atau bahkan investor yang Anda punya, akan ada waktu-waktu Anda merasa sungguh-sungguh sendirian. Menatap ruang hampa, gelap, kosong, sendirian, tanpa tahu harus bergerak ke mana.
Dan, ya, saya sedang merasakannya.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus